NEWS & EVENTS

Architecture Talk Volume #1

Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) Sumatera Utara menggelar acara yang bertajuk “Peranan Arsitek dan Masyarakat Dalam Pelestarian Bangunan Cagar Budaya” pada tanggal 10 Februari 2017 lalu. Pembahasan ini bertujuan untuk memperlakukan bangunan bersejarah dan cagar budaya yang menjadi isu besar yang kerap dihadapi oleh semua kota di Indonesia, termasuk Medan yang kaya akan bangunan peninggalan era kolonial.

Acara ini menjadi forum diskusi para praktisi dan masyarakat untuk berbagi ide dan inspirasi tentang arsitektur dan perkotaan. Dalam kata sambutannya, Wakil Walikota Medan, Ir. Akhyar Nasution, memberikan tanggapan baik atas animo peserta yang hadir, selain memberikan perhatian terhadap pelestarian bangunan bersejarah dan cagar budaya di kota Medan. Ia juga berharap bahwa forum seperti ini dapat memberikan masukan riil dalam isu konservasi bangunan bersejarah.

Selain itu, terdapat dua pembahasan menarik yang dikupas oleh dua narasumber yang hadir pada malam itu, yakni Dwi Lindarto Hadinugroho, Ir. MT. tentang “Demolition: Tantangan Pelestarian Arsitektur” dan Ir. Soehardi Hartono, MSc. tentang “Kreatifitas Dalam Upaya Pelestarian Bangunan Cagar Budaya”. Pembahasan ini sendiri dipandu moderator Boy Brahmawanta Sembiring, IAI. AA.

“Demolition: Tantangan Pelestarian Arsitektur” menjadi isu pertama yang mengangkat masalah demolition, yakni pelenyapan/perusakan/pembongkaran, di mana demolition dalam pelestarian arsitektur Medan menjadi suatu tantangan besar yang harus dihadapi. Demolition dapat terjadi karena beberapa hal, seperti pelapukan (gedung-gedung lama yang dibiarkan lapuk/rusak dimakan jaman), amputasi (gedung-gedung yang dulunya merupakan kesatuan banguan yang besar, kemudian dibagi menjadi dua atau beberapa gedung yang berbeda fungsinya), inactivity (dibiarkan kosong atau tidak ada aktivitas di dalamnya), outstyle (gedung-gedung yang dibangun berbeda dengan bentuk asli atau khas asalnya), facelift (mengubah bangunan secara keseluruhan sehingga tampak berbeda dari aslinya), visual blurry (gedung bangunan yang dibuat tinggi agar menutupi bangunan asli atau lama yang ada di belakangnya), domination (membuat bangunan baru di sekitar bangunan lama yang akhirnya bangunan-bangunan baru tersebut lebih menonjol dibandingkan dengan bangunan lama), sprawl alienation (bangunan yang dibangun aneh tidak sesuai dengan budaya aslinya), dan pelupaan (bangunan lama yang sengaja dilupakan dan akhirnya tidak sadar jika diubah menjadi bangunan baru).

Kesawan sebagai salah satu daerah bersejarah di kota Medan menjadi fokus pada pembahasan kali ini. Demolisi di daerah ini hanya menyisakan sekitar 17.14% arsitektur orisinilnya sehingga Kesawan tidak menarik lagi sebagai traffic calming. Lebih parahnya, tindakan demolisi ini tidak hanya muncul dalam bentuk penghancuran frontal saja, tetapi hasil akhirnya adalah pelenyapan terhadap budaya asli.

Isu pelestarian bangunan cagar budaya ini pun membutuhkan kreativitas arsitek untuk menyisipkan bangunan baru atau fungsi bangunan baru, tanpa menghilangkan atau menghancurkan identitas bangunan lama. Contohnya dapat dilihat dalam proyek rehabilitasi rumah jabatan perwakilan BI Medan yang dilakukan oleh Ir. Soehardi Hartono, MSc. Di proyek ini dilakukan regenerasi desain bangunan, tanpa menghilangkan unsur heritage yang ada sehingga dapat dinikmati oleh banyak orang.